ISTIMEWA/gadalombok.co
Johari Marjan, M.Pd

          NEGARA Indonesia merupakan Negara yang menggunakan sistem pemerintahan Demokrasi. Demokrasi memiliki makna yang luas dan kompleks, salah satunya Warga Negara yang di beri kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Kemampuan rakyat untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi (Nugroho, 2012).  Dalam istilah negera demokrasi, maka pemilihan umum dianggap sebagai tolok ukurnya, dikarenakan Pemilihan umum merupakan ajang kompetisi bagi semua warga negara Indonesia, untuk mengisi berbagai jabatan politik dalam pemerintahan.

Sehingga dari awal kemerdekaan pemilihan umum terus dilakukan meskipun teknisnya berbeda. Teknis pemilihan umum di Indonesia mulai dari  pemilihan umum yang sebelumnya memisahkan antara pemilihan legislatif dan presiden dan wakil presiden sampai kepada teknis pemilihan umum dilakukan secara serentak  baik legislatif dan presiden dan wakil presiden yang dimulai dari pemilihan umum tahun 2019. Yang berawal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian selanjutnya diikuti oleh perubahan undang-undang kepemiluan dengan dicetuskannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur pelaksanaan pemilihan umum serentak tahun 2019. Dengan lahirnya undang-undang tersebut maka pada tanggal 17 April 2019, negara Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum secara serentak di seluruh nusantara untuk yang pertama kalinya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. 

Dalam pemilihan umum secara serentak partisipasi masyarakat, sebagai pemilih yang memiliki hak dan kewajiban dalam pelaksanaan pemilihan umum, yang diselenggarakan oleh negera yang dimandatkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU). Untuk menyelenggarakan Pemilihan Uumu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagaimana diatur pada Pasal 22E ayat (2) dan Pasal 18 Ayat 4 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hal ini menjadi perwujudan demokratisasi di Indonesia bahkan semua ini merupakan indikator keberhasilan dari implementasi sistem demokrasi yang ada di negara kita negara Indoensia.

Pelaksanaan pemilihan umum secara serentak, tidak semudah membalikkan telapak tangan, dengan didukung berbagai teori dan argumen-argumen yang menguatkan pemilihan umum secara serentak ini adalah baik dan menghemat anggaran negara. Namun, semua itu tidak didukung dengan berbagai persiapan mulai  dari perencanaan, implementasi sampai kepada evaluasinya. Terbukti hal ini mengingatkan kita pada tragedi meninggalnya 722 orang yang terdiri dari petugas dari KPPS, petugas ketertiban TPS, PPS sampai kepada petugas PPK, tragedi ini salah satunya karena dipicu oleh beban kerja yang berat bagi petugas lapangan. Ini semua sebagai konsekuensi dari desain pemilihan umum dengan lima kotak. Artinya dalam pemilihan umum secara serentak, membutuhkan perencanaan yang kuat dan terukur dan sederhana. Sehingga tahap implementasinya menjadi tidak serumit pada pemilihan umum tahun 2019, yang menyisakan berbagai persoalan dalam teknis pelaksanaan pemilihan umum secara serentak. 

Berkaca dari itu maka kompleksitas yang dihadapi pada pemilihan umum secara serentak pada tahun 2024 mendatang akan semakin kompleks karena terjadi berbagai macam perubahan pada berbagai sektor tertentu. Dan tentu hal ini, akan mempengaruhi unsur-unsur dalam pemilihan umum secara serentak tahun 2024 mendatang, baik dari persyaratan-persyaratan yang akan mengisi lowongan petugas, sampai kepada kesiapan petugas sendiri dengan beban kerja yang berat yang harus di imbangi dengan insentif bagi mereka yang rela mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk mensukseskan pemilihan umum secara serentak mendatang.

Maka untuk mengatasi masalah kerumitan dan kompleksitas teknis pemilihan umum tahun 2024 harus menjadi perhatian yang utama bukan hanya pada masalah system pemilihan umum, namun pada masalah teknis pengaturan waktu dalam pemungutan suara dengan perhitungan suara harus dilandaskan dengan pemikiran yang matang dan masuk akal. 

Begitu juga dengan tahapan demi tahapan pemilihan umum tahun 2024 mendatang harus di tata dan disederhanakan sehingga beban kerja petugas lapangan tidak terlalu berat dan memporsir seluruh waktu, tenaga dan pikiran petugas lapangan. Salah satunya dengan memisahkan tahapan pemungutan suaran dengan dengan tahapan penghitungan suara sehingga menjadikan petugas KPPS tidak merasa terbebankan.

Pemilihan umum secara serentak di Indonesia Secara umum, untuk konteks Indonesia dengan mendasarkan pada varian secara empirik maupun hipotetis, terdapat setidaknya enam model pemilu serentak Pertama, pemilu serentak untuk semua posisi publik di tingkat nasional hingga kabupaten/kota yang dilakukan satu kali dalam lima tahun, Kedua, pemilu serentak hanya untuk seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Ketiga, pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, di mana dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal (concurrent election with mid-term election). Keempat, pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval (concurrent election with regional-based concurrent elections). 

Kelima, adalah pemilu serentak tingkat nasional yang kemudian diikuti dengan pemilu serentak di masing-masing provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di masing-masing provinsi tersebut. Keenam, adalah pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden dan kemudian diikuti setelah selang waktu tertentu dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi (tim penyusun, LIPI, 2018)

Berdasrkan hal itu dengan melihat kerumitan dan kompleksitas dari penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2024 mendatang maka dibutukan penyederhaan dari berbagai segi sehingga pemilihan umum berjalan dengan lancar karena keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum menjadi indikator keberhasilan dari implementasi sistem demokrasi di negara kita negara indonesia. 

Oleh sebab itu, dengan mengacu kepada model pemilu serentak yang digagas oleh LIPI dan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan pertimbangan mengenai kompleksitas pemilu dengan memberikan kemungkinan 6 cara (model) menata pemilu serentak. Maka model yang tepat yaitu memisahkan antara pemilihan umum serentak nasional dan pemilihan umum local atau daerah. Artinya terdapat jeda waktu antara pemilihan umum nasional dan local. Sehingga dengan adanya jeda waktu, akan menyederhanakan dan mengurangi beban kerja petugas lapangan, dalam penyelenggaraan pemilihan umum. 

Di samping itu, para pemilih juga yang akan ikut berpartisipatif akan dapat menyalurkan pilihannya berdasarkan dengan pandangan dan pemikiran yang logis untuk memilih siapa-siapa yang cocok dari warga negara yang ikut berpartisipasi menjadi Kompetitor dalam ajang kompetesi pemilihan umum secara serentak untuk mencari orang-orang terbaik yang dimiliki negara indosnesia. (*)

Penulis : Johari Marjan, M.Pd  Akademisi UNU NTB


(Apa yang menjadi isi dari artikel tersebut, merupakan tanggungjawab penuh penulis)